Mata Kuliah Manajemen Pariwisata Kreatif
                                                             oleh Eko Kukuh Kustanto/ 337674


I.                   Pendahuluan
Istilah Ekonomi Kreatif boleh dikatakan belumlah akrab di dalam wacana publik. Sekalipun nomenklatur ini telah menjadi salah satu dari unsur kementerian pada paruh kedua pemerintahan Presiden SBY, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, tetap saja belum dikenal dengan baik oleh setiap kalangan masyarakat Indonesia. Di samping memang istilah ekonomi kreatif merupakan hal yang baru dalam literatur ekonomi, usaha untuk mensosialisasikan bidang ini pun tampak belum maksimal. Pariwisata atau pertanian sebagai nomenklatur, jauh lebih dikenal dan dimengerti oleh masyararakat ketimbang ekonomi kreatif.
II.                Latar Belakang
Ekonomi Kreatif yang dipandang sebagai sub sektor dalam kegiatan ekonomi sebenarnya belum lama muncul. Pada dekade awal 1990-an, di Australia timbul persoalan mengenai mekanisme pandanaan yang berkaitan dengan kebijakan sektor seni dan budaya, sehingga muncullah istilah ketika itu “Creative Nation” yang dikeluarkan Australia. Tetapi istilah ini benar-benar terangkat ketika Department of Culture, Media, and Sport (DCMS) United Kingdom (Inggris) mendirikan Creative Industries Task Force pada tahun 1997. Kemudian DCMS Creative Industries Task Force (1998) merumuskan definisi sebagai berikut: “Creative Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill and talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”. Ruang lingkup dari industri kreatif menurut DCMS meliputi, advertising, architecture, the art and antiques market, crafts, design, designer fashion, film, interactive leisure software, music, the performing arts, publishing, software, television and radio. Pada waktu berikutnya, banyak negara di dunia mengadopsi konsep Inggris ini, antara lain Norwegia, Selandia Baru, Singapura, Sewedia dan tentu saja Indonesia tidak mau ketinggalan dengan istilahnya sendiri, Ekonomi Kreatif.
Latar belakang Inggris merumuskan kebijakan Industri Kreatif yang kebijakannya berada di bawah Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga hingga dewasa ini, ialah pada dekade 1980-an di Inggris aktivitas industri menyusut, akibatnya pengangguran di negara itu meningkat, dan dampaknya alokasi dana pemerintah untuk bidang seni berkurang. Maka ditemukanlah gagasan dan strategi kreatif yakni culture as an industry. Sebenarnya ini merupakan paradigma baru dalam melihat seni dan budaya dalam hubungannya dengan perekonomian suatu negara. Melalui konsep ini, seni dan budaya tidak lagi dilihat sebagai sektor-sektor yang selalu membutuhkan subsidi dari negara, malahan justru didesain untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan inovasi yang bernilai ekonomis. Sehingga pada masa itu, Tony Blair, PM Inggris, menyatakan, “pop music exports were financially more significant to the country than the steel industry. Indonesia sendiri dalam pembangunan sektor ekonomi kreatif tampak sangat cepat. Bila di negara maju semacam Inggris, timbulnya industri kreatif sebagai nomenklatur baru dalam kebijakan industrial mereka, hal itu tampak sebagai suatu yang alamiah dari perspektif evolusi ekonomi. Ingris, sebagai pelopor industri sekaligus lokus revolusi industri dunia, kini masuk pada tahap lanjut evolusi ekonomi, yaitu ekonomi berbasis ide dan kreasi. Bila disederhanakan, evolusi ekonomi dimulai dari tahap ekonomi berbasis pertanian, kemudian berkembang menjadi ekonomi berbasis industri, lalu ekonomi berbasis informasi, dan yang mutakhir ekonomi berbasis ide dan kreasi.
Kasus Indonesia dalam hal pembinaan Ekonomi Kreatif cukup menarik. Ekonomi Kreatif muncul dari atas (from above) melalui kebijakan negara. Tetapi bukan berarti kegiatan ekonomi kreatif baru muncul seiring dengan kebijakan pemerintah tersebut. Ekonomi Kreatif telah lama tumbuh dan berkembang di masyarakat, namun secara khusus mendapat perhatian dan pembinaan yang kuat dari pemerintah baru dimulai pada era pemerintahan SBY. Pemerintahan SBY telah meninggalkan legacy yang baik terkait pengembangan dan pembangunan ekonomi kreatif di Indonesia. Secara kronologis kebijakan ekonomi kreatif dimulai oleh pernyataan Presiden untuk meningkatkan industri kerajinan dan kreativitas bangsa, terselenggaranya Pekan Produk Budaya Indonesia 2007, yang berubah nama menjadi Pekan Produk Kreatif Indonesia 2009, terbitnya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, hingga Perpres Nomor 92 Tahun 2011 yang menjadi dasar hukum terbentuknya kementerian baru yang mengurusi ekonomi kreatif, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Menterinya, Mari Elka Pangestu. Kemudian lebih lanjut terbitlah pada 2012
III.             Tujuan
-          Memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pariwisata Kreatif
-          Mengetahui 14 Sub sector Ekonomi di Indonesia beserta contoh
IV.             Isi
Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang Rencana Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2012-2014. Di dalam rencana strategis itu telah tersusun dengan detail pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Ruang lingkup ekonomi kreatif di Indonesia berdasarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2009 berbeda dengan di negara seperti Inggris, hal mana bidang penelitian dan pengembangan dimasukkan sebagai bagian dari ekonomi kreatif. Di Inggris, bidang penelitian dan pengembangan tidak dimasukkan sebagai ruang lingkup Industri Kreatif, tetapi bidang konsultasi sudah dimasukkan sebagai bagian dari industri kreatif. Lebih rinci bidang-bidang apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup ekonomi kreatif di Indonesia adalah sebagai berikut:
1)      Periklanan (advertising): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa periklanan, yakni komunikasi satu arah dengan menggunakan medium tertentu. Meliputi proses kreasi, operasi, dan distribusi dari periklanan yang dihasilkan, misalnya riset pasar, perencanaan komunikasi periklanan, media periklanan luar ruang, produksi material periklanan, promosi dan kampanye relasi publik. Selain itu, tampilan periklanan di media cetak (surat kabar dan majalah) dan elektronik (televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran selebaran, pamflet, edaran, brosur dan media reklame sejenis lainnya, distribusi dan delivery advertising materials or samples, serta penyewaan kolom untuk iklan;
2)      Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan desain bangunan secara menyeluruh, baik dari level makro (town planning, urban design, landscape architecture) sampai level mikro (detail konstruksi). Misalnya arsitektur taman, perencanaan kota, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan sejarah, pengawasan konstruksi, perencanaan kota, konsultasi kegiatan teknik dan rekayasa seperti bangunan sipil dan rekayasa mekanika dan elektrikal;
3)       Pasar Barang Seni: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni dan sejarah yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan dan internet, meliputi barang-barang musik, percetakan, kerajinan, automobile, dan film;
4)      Kerajinan (craft): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat atau dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai proses penyelesaian produknya. Antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu dan besi), kaca, porselen, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi missal);
5)      Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan;
6)      Fesyen (fashion): kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultasi lini produk berikut distribusi produk fesyen;
7)      Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk di dalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi atau festival film;
8)      Permainan Interaktif (game): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Sub-sektor permainan interaktif bukan didominasi sebagai hiburan semata-mata tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran atau edukasi;
9)      Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi atau komposisi, pertunjukkan, reproduksi, dan distribusi dari rekaman suara;
10)  Seni Pertunjukkan (showbiz): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten, produksi pertunjukkan. Misalnya, pertunjukkan wayang, balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukkan, tata panggung, dan tata pencahayaan;
11)  Penerbitan dan Percetakan: kegiatan kreatif yang terkait dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita. Subsektor ini juga mencakup penerbitan perangko, materai, uang kertas, blanko cek, giro, surat andil, obligasi, saham dan surat berharga lainnya, paspor, tiket pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya. Juga mencakup penerbitan foto-foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi, percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk rekaman mikro film;
12)  Layanan Komputer dan Piranti Lunak (software): kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi, termasuk layanan jasa komputer, pengolahan data, pengembangan database, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal termasuk perawatannya;
13)  Televisi & Radio (broadcasting): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan acara televisi (seperti games, kuis, reality show, infotainment, dan lainnya), penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio, termasuk kegiatan station relay (pemancar) siaran radio dan televisi;
14)  Riset dan Pengembangan (R&D): kegiatan kreatif terkait dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi, serta mengambil manfaat terapan dari ilmu dan teknologi tersebut guna perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar. Termasuk yang berkaitan dengan humaniora, seperti penelitian dan pengembangan bahasa, sastra, dan seni serta jasa konsultansi bisnis dan manajemen. (Lihat, Prof.Dr.Faisal Afiff, Se.Spec.Lic, Pilar-Pilar Ekonomi Kreatif, 2012)




Mata Kuliah Kesenian Indonesia
Tugas ini dikerjakan oleh Eko Kukuh Kustanto/337674

PAGELARAN TEATER REALIS
Di Taman Budaya Yogyakarta
Pemain :
Tertib Suratmo, Like Suryanto, Fajar Auharno, Hasmi, Bambang Darto, Heru Sambawa, Tri Sudarsono, Watie Wibowo, Hanung Bramantya, Titik Renggani, Genthong Triyanto hapsoro, Hendy Setio, Febriani, Anindya Puspita, M Shodiq.
Sutradara :
Om Agus Kencrot
Sinopsis :
Jurang bercerita tentang sejumlah penumpang yang terjebak stelah bus jurusan jakarta mengalami kecelakaan terjungkal ke jurang. Sejumlah konflik muncul selama setidaknya  hari didasar Jurang karena belum mendapatkan pertolongan, sementara penumpang berasal dari berbagai latar belakang, ada pensiunan guru, calon mahasiswa, penceramah, pengantin, rias pengantin, pembawa acara, wartawan, tukang kayu, penyair, palang merah remaja, pengasong, intelek dusun, hingga profesi gelap.
Tujuan :
Reuni pemain lawas dan anyar
Penyelenggara :
Dinas Kebudayaan Yogyakarta
Waktu :
19-20 Maret 2015 pukul 20.00 WIB (90 Menit)
Review :
            Pendapat saya setelah menyaksikan teater realis cukup puas dan terhibur. Hal ini dapat dibuktikan dengan keprofesionalan para pemain teater yang begitu menjiwai karater mereka masing-masing. Tidak ada ktirikan yang saya dapat sampaikan terhadap akting para pemain senior yang sudah jelas terbukti keahliannya.
Teater Realis ini dikemas begitu apik dengan menghadirkan beberapa konflik yang berasal dari watak dan latar belakang yang berbeda. Mereka dipertemukan dalam kondisi dan masalah yang sama. Mereka sama-sama menjadi korban atas kecelakaan bus yang mengakibatkan mereka terjebak selama 2 hari di dalam jurang. Selama 2 hari tersebut muncul konflik yang mulai memanas. Ada yang penyiar gagal siaran, ada yang gagal ikut persidangan, dan lain- lain. Yang inti daripada pemicu konflik adalah gagalnya acara yang sudah dijadwalkan oleh para korban serta sifat keegoisan yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam pembahasan penyebab kecelakaan bus tersebut.
Akhir dari cerita tersebut sebenarnya agak mengganjal. Di mana ada seorang pedagang asongan yang dapat pergi ke jurang dan menyelamatkan para korban. Tapi ketika ditanya lewat jalan mana dan kenapa bisa menemukan jalan tersebut. Pedagang asongan tersebut tidak mau memberikan keterangan. Akhirnya para korban marah-marah kepada pedagang asongan tersebut karena tidak mau memberi kejelasan hingga akhirnya terjadi perselisihan antar korban. Kemudian ada seorang ibu melerai perselisihan tersebut. Dia menawarkan perundingan dengan pedagang asongan tersebut. Setelah berunding, pedagang asongan tersebut meminta syarat untuk memberikan salah satu wanita untuk disetubuhi. Akhirnya seorang wanita pun mau disetubuhi dan ibu tadi mendapatkan informasi bagaimana cara keluar dari Jurang. Setelah para korban menemukan jalan keluar dan selamat. Tiba-tiba pedagang asongan tadi menghilang begitu saja. Yang menjadi pertanyaan untuk saya? Pedagang asongan tadi manusia atau jelmaan penunggu jurang tersebut? .
       

   


Review Film ‘Di Belakang Hotel’

Mata Kuliah : Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata 1
Oleh : Eko Kukuh Kustanto/337674

Menurut saya, film documenter ini membuat saya penasaran akan berapa lama film ini dikerjakan. Karena filmnya sendiri terkesan terburu-buru, tidak banyak riset data yang ditampilkan dan kurang konklusif tetapi untuk ukuran film sebagai bahan diskusi termasuk kategori menarik. Dan uniknya film documenter ini dibuat sebagai bentuk perwujudan kehidupan sisi lain antara Banyaknya Hotel yang tumbuh pesat dengan tidak diiringi dengan penjagaan kondisi air tanah yang membuat keadaan Air Tanah warga sekitar mongering.
Di sisi lain,film dokumenter ini sangatlah edukatif karena menumbuhkan opini masyarakat ketika warga yang melakukan protes atas ketidakberdayaan terhadap kondisi air tanah mereka, yang terus mengecil bahkan cenderung hilang ketersediaanya maka wajar warga bertanya dan memprotes karena mereka berada di jalur yang benar.
Miris apabila dikaitkan dengan kalimat Jogja Istimewa, namun Kondisi air tanahnya mengalami kekeringan. Mungkin inilah dampak buruk daripada pariwisata yang proses pengerjaanya tidak bertanggung jawab dan seakan hanya mencari keuntungan saja.
Sebagai informasi proses berjamurnya hotel ini sudah mulai merambah Daerah Istimewa Jogjakarta. Setelah disebutkan beberapa kota lebih dulu mengalami fenomena ini yaitu Malang, Bali, serta Bandung. Sayangnya proses perijinan pembangunan sebuah Hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta masih sangat mudah. Ambil saja contoh Jakarta.
Walaupun gedung baru banyak yang dibangun dan terus muncul tapi pihak Pemprov DKI mengadakan siding guna mendapatkan Ijin Mendirikan Bangunan, Salah satunya adalah system pengairan bangunan pada saat konstruksi. Bukannya saya mendukung pendirian hotel, tapi alahkah bijaknya apabila banyak hal yang harus diperhatikan agar kelak tidak lebih parah dari ini.
Tapi apabila kita lihat dari kedua sisi positif dan negative, hukum rimba tetaplah berjalan.

Mata Kuliah Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata I
Eko Kukuh Kustanto/337674

Sumber : Www.Alilahotels.com

ALILA VILLAS ULUWATU

LOKASI: Uluwatu, Bali, Indonesia (Bukit Peninsula di Samudera India

PEMILIK: Alila Hotel dan Resorts Group 

ARSITEK INTERIOR DESIGNER /: Desain WOHA

Kelebihan Berkelanjutan:  Sebuah eko-resor di Bali, Indonesia, menetapkan standar baru untuk tujuan liburan hijau tanpa mengorbankan kenyamanan. 

The Alila Villas Uluwatu tidak cocok dengan stereotip tropis berangin yang diharapkan dari sebuah resor Bali. locales subur Untuk menghindari Bali utara, WOHA Design Singapura membangun villa di daerah Uluwatu di Bukit Semenanjung Selatan, sebuah wilayah savana kering dan berbatu. Setelah pembangunan bandara internasional terdekat dan panggilan dari pemerintah setempat untuk mengembangkan kawasan untuk wisata, semenanjung telah melihat perkembangan pesat.
Maksud untuk menciptakan sebuah resor mewah tanpa mengganggu ekologi lokal, WOHA dan Alila Hotel dan Resorts memilih situs mencolok bertengger di atas batu kapur dramatis tebing yang menghadap ke Samudera Hindia. Dengan 56 villa satu kamar hotel dan 26 villa perumahan tiga atau empat kamar tidur, kompleks Alila dibangun di lereng bertahap yang memungkinkan setiap unit pandangan terhalang dari tebing dan laut. Terletak di tepi sebuah batu kapur yang curam drop-off, villa empat kamar tidur terbesar mendukung pekerjaan penuh-waktu, sementara unit hotel terletak pada sebuah cluster miring lebih tinggi bukit.
Sebagai bagian dari komitmennya untuk kesinambungan, WOHA diawetkan situs berbukit sebanyak mungkin, membiarkan panduan medan kadang-kadang curam dan berbatu rencana secara keseluruhan. Para landscapers dan tim desain bekerja secara luas dengan petani setempat dan ahli botani di Kew Gardens London untuk mengidentifikasi nama dan karakteristik tanaman asli, secara eksklusif menggunakan spesies untuk lansekap resor. Resor ini juga mempertahankan pembibitan di lokasi tanaman lokal dan tanaman untuk mengisi lansekap dan kebun. Tanaman tahan kekeringan tidak hanya menyimpan ekologi yang ada utuh, namun memerlukan perawatan minimal selama musim kering yang panjang.
WOHA mendekati kebutuhan air secara keseluruhan dengan sistem daur ulang graywater komprehensif yang menyediakan pembilasan irigasi dan toilet, membantu Alila melebihi Green Globe 21 standar, yang diundangkan oleh konsultan Australia berbasis Global EC3. Sumber air utama adalah sistem pengumpulan air hujan yang luas ditempatkan di bawah Swales yang memungkinkan air untuk menyusup ke tanah. Soakway waduk dan taman hujan memungkinkan untuk penyimpanan air alami dan penyaringan, memastikan bahwa hanya hujan deras membuat kembali ke tangki penyimpanan di bawah masing-masing villa. Limbah juga diperlakukan onsite, dan kemudian digabungkan dengan bahan bakar air hujan untuk sepenuhnya sistem graywater. Vila-vila berbeda dalam ukuran dan ruang lingkup tetapi semua mewujudkan pendekatan desain keseluruhan arsitektur vernakular Indonesia sekering dengan desain modernis. Richard Hassel menjelaskan bahwa tim "mengambil elemen dari arsitektur Bali dan diinterpretasikan dalam cara yang bekerja dengan jenis arsitektur terbuka." Tim desain mempelajari struktur dihuni oleh petani setempat, menggambar inspirasi dari teras mereka rendah-pitch terbuat dari longgar batu kapur. overhang atap menyediakan pendingin ekstra besar, dan meningkatkan sirkulasi mulus antara dalam ruangan dan keluar dengan menciptakan terbuka, area yang tercakup.
Dinding-dinding villa ganda sebagai dinding taman, dan panel pemadaman ditarik dan pintu kaca membuat udara terbuka rasakan. Meskipun villa memiliki penyejuk udara, WOHA dirancang semua area resor berfungsi secara pasif, mengharapkan sebagian besar penghuni memilih pendinginan yang disediakan oleh overhang atap, angin laut, dan ventilasi alami. Kolam renang dan halaman air juga memberikan manfaat evaporative cooling, dan dinding halaman, dibangun dari batu vulkanik sumber lokal, menjaga udara dingin dari meniup pergi terlalu cepat. Salah satu strategi berkelanjutan utama diterapkan pada Villas Alila menyangkut pengadaan bahan bangunan. cladding Eksterior itu direklamasi dari batu gamping yang dikumpulkan dari penggalian situs, dan lokal kayu besi daur ulang digunakan di dalam dan keluar untuk cladding, pintu, dan panel. Kabinet dan kerajinan kayu kustom lainnya juga sama-sama dibuat dari kayu ulin direklamasi dan berkelanjutan panen jati perkebunan. Tidak kalah penting adalah partisipasi dari pengrajin baik di Bali dan Jawa tetangga. Villas fitur ubin semen dipoles dibuat dalam lokakarya di dekatnya. Semua perabotan, terinspirasi oleh drum perunggu tradisional dan peralatan, adalah custom dibangun di Jawa menggunakan kayu lokal dan tembaga. WOHA perhatian untuk detail hijau juga meluas ke sistem energi, yang menggunakan generator biodiesel powered by sampah organik dari resor, dan akhirnya akan sangat bergantung pada listrik yang dihasilkan dari peternakan angin pada semenanjung.
Teknik lingkungan yang digunakan meliputi :
1.      Desain menghormati kontur alam
2.      Hujan koleksi dan daur ulang air di kolam retensi
3.      Pengisian akuifer melalui membasahi, Swales dan taman hujan
4.      Air limbah Semua pergi ke abu-abu sistem air untuk penyiraman tanaman dan toilet pembilasan
5.      Pembuangan limbah Semua diperlakukan dan air pembuangan limbah daur ulang dalam sistem greywater
6.      Overhang besar untuk memungkinkan pendinginan alami
7.      Air pemanasan menggunakan pompa panas.
8.      Landscaping didasarkan pada vegetasi alam untuk mendorong satwa liar
9.      Landscaping berdasarkan kering-iklim vegetasi alami untuk menyimpan air
10.  Daur ulang dan / atau perkebunan dan / atau kayu terbarukan
11.  Bahan bersumber secara lokal dan bahkan di lokasi (misalnya dinding puing-puing)
12.  Saltwater kolam daripada klorin
13.  Limbah pemisahan dan daur ulang
14.  Tentu berventilasi area public
15.  Pengobatan Non-kimia rayap
16.  Pengobatan pengawet Non-beracun untuk kayu dan bamboo
17.  Rendah energi pencahayaan
18.  Kesadaran program Alam untuk tamu.

Kesimpulan dari bangunan ramah lingkungan ini antar lain :

Pembangunan merupakan langkah selanjutnya yang tepat di resort, dimana mewah tidak berarti konsumsi berlebihan, tapi senang dan menikmati keindahan alam dan rasa tempat. Pembangunan ini lembut, merangkul lanskap. Hal ini terletak di daerah, miskin kering, pedesaan, sehingga menggantikan pertanian marjinal dengan pariwisata yang menciptakan lapangan kerja yang besar dan pendapatan bagi masyarakat setempat. Ia memelihara flora dan fauna lokal. Melalui menampilkan kemampuan lokal, bahan dan elemen vernakular, itu menegaskan pendapat masyarakat setempat bahwa mereka hidup di tempat luar biasa yang harus dihargai dan dipelihara.